Support System Marketing Online

Photobucket

Selasa, 26 Oktober 2010

RUU Konvergensi Telematika: Produk Nasional, Bercita rasa Neoliberal

Satudunia, Jakarta. RUU Konvergensi Telematika sangat memprihatinkan. Hak warga negara diabaikan, kurang partisipatif dan berpotensi berbenturan dengan UU lainnya. Produk nasional yang bercita rasa neoliberal.

Menurut Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Revrisond Baswir, ekonomi neoliberal adalah bentuk baru liberalisme yang pada dasarnya sangat memuliakan mekanisme pasar. Dalam sistem ekonomi neoliberal campur tangan negara, walaupun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar.

Sistem neoliberal itu pada akhirnya menempatkan negara hanya sebagai pelayan korporasi besar daripada melindungi keselamatan warganya. Akibatnya hak warga negara dihilangkan digantikan hanya sekedar hak konsumen dari produk-produk industri manufaktur dan jasa.

Aroma neoliberal itu sangat menyengat di acara konsultasi publik ancangan Undang Undang (RUU) Konvergensi Telematika di Jakarta (20/10). Acara itu diadakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Sekilas RUU Konvergensi Telematika ini terlihat baik-baik saja. Namun bila kita telisik lebih dalam, RUU ini sangat memprihatinkan. Aroma busuk neoliberal sangat menyengat di RUU ini.

Keprihatinan pertama, adanya reduksi hak warga negara menjadi sekedar hak sebagai konsumen produk telematika.

Hal itu nampak tidak adanya secara explisit pasal mengenai hak warga negara atas pelayanan universal atas layanan telematika. Di dalam Pasal 38 draft RUU Konvergensi Telematika memang disebutkan mengenai kewajiban negara untuk membangun pelayanan universal. Tapi di dalam RUU itu tidak disebutkan apa yang menjadi hak warga negara bila kewajiban negara itu tidak dilaksanakan. Akibatnya, hak warga negara untuk menikmati layanan dasar telematika ini akan mudah dilanggar dalam praktiknya.

Kewajiban pelayanan dasar telematika adalah kewajiban penyediaan layanan telematika agar masyarakat, terutama di daerah terpencil atau belum berkembang, mendapatkan akses layanan telematika.

Dari sini jelas bahwa dalam RUU ini telah mereduksi hak warga negara, yang didasarkan atas kontrak sosial, sekedar menjadi hak konsumen, yang didasarkan atas hubungan transaksional. Liberalisasi pasar dengan melemahkan peran negara dalam melindungi warganya terasa menjadi ruh dalam RUU ini.

Keprihatinan kedua, meskipun terdapat pasal mengenai perlindungan konsumen, lembaga yang selama ini gigih dalam melakukan advokasi terhadap hak konsumen seperti YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) tidak dilibatkan dalam konsultasi publik RUU ini. Kuat dugaan bahwa pasal perlindungan konsumen yang terdapat dalam RUU Konvergensi Telematika ini hanya basa-basi atau lip service saja.

Tidak partisipatifnya penyusunan UU yang mengatur teknologi informasi sebelumnya juga terjadi pada penyusunan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Dalam pembahasan RUU ITE menjadi UU tidak melibatkan kelompok masyarakat sipil yang bergerak di isu HAM. Akibatnya setelah UU ITE itu diberlakukan, beberapa warga negara menjadi korban pasal karet pencemaran nama baik yang terdapat dalam UU ITE.

Keprihatinan ketiga, ketidakjelasan irisan RUU Konvergensi Telematika dengan UU yang terkait dengan TIK (Teknologi, Informasi dan Komunikasi) lainnya. Irisan RUU ini dengan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) misalnya, sangat tidak jelas. Hal itu dikarenakan di saat bersamaan UU ITE juga sedang dalam proses revisi, dan draft revisi dari UU ITE tersebut belum atau tidak diketahui oleh publik.

Aroma busuk neoliberal dalam RUU Konvergensi Telematika itu semakin terasa setelah kita membaca penjelasan dari RUU tersebut. Dalam penjelasan RUU itu disebutkan salah satu yang melatarbelakangi munculnya RUU Konvergensi Telematika adalah “Tekanan atau dorongan untuk mewujudkan perubahan paradigma telematika dari vital dan strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan semakin besar melalui forum-forum regional dan internasional dalam bentuk tekanan untuk pembukaan pasar (open market)”.

Celakanya lagi jarang bahkan tidak ada organisasi masyarakat sipil yang mengawal RUU Konvergensi Telematika yang beraroma neoliberal ini. Bukan hanya di RUU Konvergensi Telematika, hampir di semua kebijakan mengenai teknologi informasi (bahkan juga teknologi pada umumnya), organisasi masyarakat sipil juga absen. Lantas, apakah kita hanya terdiam membiarkan status warga negara kita, bersama serangkaian hak yang melekat di dalamnya dilucuti dan digantikan dengan status konsumen?


Sumber

1 komentar:

abenk mengatakan...

nice info ..salam kenal....
check it out.. klik ini
blog saya

Posting Komentar

Custom Search
Danz Articles © 2008. Free Blogspot Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute
This template is Edited and brought to you by : allblogtools.com Blogger Templates